METODELOGI PENGEMBANGAN INTELEKTUAL
“PERKEMBANGAN INTELEKTUAL”
Dosen pembina :
Dr. I Gede Meter, M. Pd
Oleh:
RIA YULIANA
(1111061033/D-2/15)
S1 PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
DENPASAR
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Metodelogi
Pengembangan Intelekual dengan
judul “PERKEMBANGAN INTELEKTUAL”. Terima kasih saya ucapkan kepada, Bapak
Dr. I Gede Meter, M.Pd selaku
dosen mata kuliah yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya
makalah ini.
Demikianlah makalah ini saya susun, semoga bermanfaat, jika
dalam makalah ini ada kesalahan saya mohon maaf, di lain kesempatan saya akan
membuat makalah ini dengan lebih baik lagi.
Denpasar, 1 Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar
Belakang...........................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah......................................................................2
1.3 Tujuan ..................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
2.1 Hubungan Intelektual
dengan Tingkah Laku.............................3
2.2 Karakteristik
Perkembangan Intelektual....................................4
2.3 Aspek-Aspek
Perkembagan Intelektual.....................................7
2.4 Tahap-Tahap
Perkembangan Intelektual..................................11
2.5Faktor-Faktor yang
Mempengaruhu Intelektual.......................14
BAB IV PENUTUP.............................................................................................15
3.1Simpulan...................................................................................15
3.2 Saran.........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap individu memiliki otak yang digunakan untuk
berpikir. Berpikir itu merupakan gabungan antara kecerdasan, intelektual, dan
intelegensi. Semua itu adalah satu kesatuan yang saling terkait.
Anak ialah sesosok individu kecil. Di mana
kecerdasannya berkembang pada masa golden years. Pada masa tersebut akan
terjadi hubungan antara sel-sel saraf. Baik kuantitas dan kualitas sambungan
ini menentukan kecerdasan anak. Anak berpikir dengan menggunakan inteleknya.
Kemampuan intelegensilah yang menentukan cepat atau tidaknya suatu tugas atau
masalah dapat terselesaikan. Kecerdasan setiap anak berbeda-beda, bahkan anak
kembar yang genetisnya sama memiliki kecerdasan yang berbeda.
Kecerdasan memiliki manfaat yang besar bagi diri
setiap anak dan bagi pergaulannya di masyarakat. Karena dengan tingkat
kecerdasan yang tinggi seseorang akan semakin dihargai di lingkungannya,
apalagi ia mampu berkiprah dan dapat menciptakan hal-hal yang baru.
Baik
kecerdasan, intelektual, dan intelegensi dari setiap anak harus selalu dikembangkan.
Karena anak harus menjadi anak-anak yang sukses dan cerdas. Jadi, semua itu
harus diasah untuk memperoleh kecerdasan yang maksimal. Peran orang tua, guru,
dan masyarakat sangatlah penting dalam perkembnagan kecerdasan anak.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana
hubungan intelektual dengan tingkah laku?
1.2.2 Apa
saja karakteristik perkembangan intelektual?
1.2.3 Apa saja aspek-aspek perkembangan intelektual?
1.2.4 Apa
saja tahap-tahap perkembangan intelektual?
1.2.5
Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi intelektual?
1.3
Tujuan Masalah
1.3.1 Agar dapat
mengetahui hubungan intelektual dengan tingkah laku.
1.3.2 Agar
dapat mengetahui karakteristik perkembangan intelektual.
1.3.3 Agar
dapat mengetahui aspek-aspek perkembangan intelektual.
1.3.4 Agar
dapat mengetahui tahap-tahap perkembangan intelektual.
1.3.5
Agar dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Intelektual dengan Tingkah Laku
Inteligensi menurut Piaget merupakan “pernyataan
dari tingkah laku adaptif yang terarah kepada kontak dengan lingkungan dan
kepada penyusunan pemikiran” (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2011:30). Beliau
memposisikan subjek sebagai pihak yang aktif dalam interaksi adaptif antara
organisme atau terjadi hubungan dialektis antara organisme dengan
lingkungannya. Sebab, organisme tidak dapat lepas dari lingkungannya dan juga
tidak semacam penerima yang pasif. Interaksi antara organisme dengan
lingkungannya lebih bersifat interaksi timbal balik. Hanya dalam bentuk
interaksinya juga, setiap perubahan tingkah laku adalah hasil dari dialektis
pengaruh timbal balik antara organisme dengan lingkungannya. Karena
pandangannya tersebut, intelektual atau kognitif disebut dengan teori
interaksionisme.
Intelektual sebagai bentuk khusus dari penyesuaian
organisme baru dapat diketahui melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Organisme sebagai suatu sistem dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
karena kemampuan mengakomodasi struktur kognitifnya sehingga objek yang baru
itu dapat ditangkap dan dipahami. Asimilasi ialah suatu proses individu
memasukkan dan menggabungkan pengalaman-pengalaman dengan struktur psikologis
yang telah ada pada diri individu. Struktur psikologis dalam diri individu ini
disebut skema yaitu kerangka mental
individu yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu yang dilihat atau didengar.
Skema mampu menyusun pengamatan-pengamatan dan tingkah laku sehingga terjadi
suatu rangkaian tindakan fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.
Perkembangan
selama kurun waktu tertentu dalam berbagai pengalaman baru sudah tidak sesuai
lagi dengan struktur psikologis individu dan tidak dapat diasimilasikan ke
dalam skema-skema yang telah ada. Jadi, skema harus diperluas, diubah, dan
disesuaikan dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman
baru. Proses penyesuaian skema dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman baru disebut dengan akomodasi.
2.2 Karakteristik Perkembangan
Intelektual
Adapun karakteristik perkembangan intelektual (Mohammad
Ali dan Mohammad Asrori, 2011:31-33) yaitu sebagai berikut:
1.
Karakteristik Tahap Sensori-Motoris
Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik
menonjol yaitu:
a. Segala
tindakannya masih bersifat naluriah.
b. Aktifitas
pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra.
c.
Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu untuk
mengategorikan pengalaman.
d.
Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema
sensoris-motorisnya.
Untuk memperjelas karakteristik tahap
sensori-motoris ini yaitu:
1. Fase pertama (0-1 bulan) mempunyai karakteristik
sebagai berikut,
a. Individu mampu bereaksi secara refleks.
b.
Individu mampu menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum terkoordinir.
c.
Individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasi berbagai pesan yang diterima
dari lingkungannya.
2.
Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa, individu mampu memperluas
skema yang dimilikinya berdasarkan hereditas.
3.
Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa, individu mulai dapat
memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang terjadi
pada benda itu.
4. Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a.
Individu mampu memahami bahwa benda tetap ada meskipun untuk sementara waktu
hilang dan akan muncul lagi di waktu lain.
b.
Individu mampu menentukan tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang tua.
c. Individu
mulai mampu mencoba sesuatu.
5. Fase kelima (12-18 bulan) mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
a.
Individu dapat melakukan berbagai percobaan terhadap lingkungannya dengan lebih
lancar.
b. Individu
mulai mampu untuk meniru.
2. Karakteristik Tahap Praoprasional
Tahap ini ditandai dengan karakteristik menonjol
yaitu sebagai berikut:
a.
Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi.
b.
Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide.
c.
Individu telah mengerti dengan adanya hubungan sebab-akibat dalam suatu
peristiwa konkret, meskipun logika hubungan sebab-akibat belum tepat.
d.
Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku:
1. Berpikir imajinatif.
2. Berbahasa egosentris.
3. Menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi.
4. Perkembangan bahasa bertambah pesat.
3.
Karakteristik Tahap Operasional Konkret
Tahap ini ditandai dengan karakteristik
menonjol bahwa segala sesuatu dipahami sebagaimana kenyataan yang mereka alami.
Jadi, cara berpikir individu belum menangkap yang abstrak, meskipun cara
berpikirnya sudah tampak sistematis dan logis. Dalam memahami konsep, individu
sangat terikat kepada proses mengalami sendiri. Artinya, individu mudah
memahami konsep kalau mengerti konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan konsep tersebut.
4.
Karakteristik Tahap Operasional Formal
Tahap ini ditandai dengan karakteristik menonjol
sebagai berikut:
a.
Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi.
b. Individu mulai mampu berpikir logis dengan
objek-objek yang abstrak.
c.
Individu mulai mampu memecahkan problem yang bersifat hipotesis.
d.
Individu mulai mampu membuat perkiraan (forecasting)
di masa depan.
e.
Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri
sendiri tercapai.
f.
Individu mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai
orang dewasa.
g.
Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan masyarakat
di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.
2.3 Aspek-Aspek Perkembangan Intelektual
Piaget
(Massofa, 2008) memaparkan beberapa aspek yaitu:
1. Perkembangan Kognitif
Anak usia antara 5-7 tahun memasuki tahap
operasi konkret yaitu, pada waktu anak dapat berpikir secara logis mengenai
segala sesuatu.
2. Berpikir Operasional
Anak-anak dapat berpikir secara operasional. Mereka
dapat mempergunakan berbagai simbol, melakukan berbagai bentuk operasional,
yaitu kemampuan aktivitas mental sebagai kebalikan dari aktivitas jasmani yang
merupakan dasar untuk mulai berpikir dalam aktivitasnya. Walaupun anak-anak
yang praoperasional dapat membuat pernyataan mental tentang obyek dan
kejadian-kejadian sekelipun tidak dapat dalam seketika, cara belajar mereka
masih terikat pada pengalaman fisik. Anak-anak yang ada pada tahap operasional
konkret lebih baik daripada anak-anak yang praoperasioial dalam mengadakan
klasifikasi, bekerja dengan angka-angka. Kemudian dapat mengetahui konsep-konsep
waktu dan ruang,
dapat membedakan antara kenyataan dengan hal-hal yang bersifat fantasi.
dapat membedakan antara kenyataan dengan hal-hal yang bersifat fantasi.
Karena pada dewasa ini anak-anak berkurang sifat
egoisnya, dan pada tahapan operasi konkret lebih bersifat kritis mereka lebih
banyak dapat mempertimbangkan suatu situasi daripada hanya memfokuskan pada
suatu aspek, sebagairnana yang mereka lakukan pada praoperasiorial. Mereka
sadar bahwa pada umumnya berbagai operasi fisik dapat diganti. Peningkatan
kemapanan mereka untuk mengeni terhadap orang lain dapat mendorong untuk
berkomunikasi lebih efektif dan dapat berpikir lebih fleksibel. Akan tetapi
anak-anak usia sekolah lebih dapat berpikir secara logik daripada waktu mereka
masih muda, cara berpikir mereka’masih terikat pada kenyataan atau kejadian
pada waktu sekarang, artinya terikat pada suatu hal yang sedang mereka hadapi.
Menurut Piaget kordisi semacam ini berlaku
jampai pada tahap berbagai operasi formal, di mana biasanya sampai pada tahap
remaja, anak-anak mampu berpikir secara abstrak, tes hipotesis, dan mengerti
tentang kemungkinan (probabilitas).
3.Konservasi
Konservasi adalah kemampuan untuk mengenal
atau mengetahui bahwa dua bilangan yang sama akan tetap sama dalam substansi
berat atau volume selama tidak ditambah atau dikurangi.
Dalam suatu tugas konservasi tertentu, Stay
menunjukkan dua bola. Dia setuju bahwa bola tersebut memang sama. Dia
mengatakan bahwa substansi konservasi tersebut sekalipun bola yang satu
digelindingkan, keadaannya tetap tidak berubah, artinya jumlah bola tersebut
tetap sama. Dalam konservasi berat, dia juga mengetahui bahwa berat bola
tersebut tetap sama sekalipun dipanaskan, demikian pula apabila bola tersebut
dimasukkan ke air.
Anak-anak mengembangkan perbedaan berbagai
tipe dan konservasi dalam waktu yang berbeda. Pada usia 6 atau 7 tahun mereka
dapat mengkonservasi substansi pada usia 9 atau 10 rr.ampu mengkonservasi berat
dan pada usia 11 atau 12 mengkonservasi volume. Pada dasarnya ketiga jenis
konservasi tersebut adalah identik, akan tetapi anak-anak belum mampu
mentransfer apa yang mereka telah pelajari yaitu mengkonservasi satu tipe kepada
bentuk lain yang berbeda. Dalam hubungan ini kita dapat melihat bahwa, berbagai
alasan anak-anak tersebut tetap sarna dalam tahap konkret. Sebab kondisi
tersebut masih tetap terikat pada situasi tertentu sehingga anak tidak dapat
mengaplikasikan operasi dasar mental yang sama pada situasi yang berlainan.
4. Konservasi Dikembangkan
Pada umumnya anak-anak
bergerak dengan melalui tiga tahapan dalam menguasai konservasi sebagaimana
dikemukakan di atas. Pada tahap pertama, anak-anak praoperasional gagal
mengkonservasi. Mereka memusatkan perhatian pada suatu aspek dalam situasi
tertentu. Mereka belum mengerti bahwa tempat prnyimpanan bola dapat di isi
dengan bola lebih dari satu. Sebab anak-anak praoperasional tidak mengerti
tentnng konsep perubahan, mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa, mereka
dapat merubah sesuatu, misalnya dengan menggerakkan suatu benda (bola) tanpa merubah
bentuknya.
Pada tahap kedua, anak-anak kembali pada
kondisi bahwa kadang-kadang mengadakan konservasi namun kadang-kadang tidak
melakukannya. Mereka lebih banyak memperhatikan berbagai hal dan tidak terpaku
pada satu aspek saja dalam situasi tertentu, seperti berat, lebar, panjang, dan
tebal akan tetapi mereka gagal mengetahui sebagaimana berbagai dimensi tersebut
berhubungan satu sama lain.
Pada tahap ketiga, yaitu tahap terakhir,
anak-anak dapat mengkonservasi dan dapat memberikan alasan secara logis atas
jawaban yang mereka berikan. Alasan-alasan tersebut mengacu pada perubahan,
identitas, atau kompensasi. Jadi, anak-anak pada opernsional konkret
menunjukkan suatu kualitas kognitif lebih lanjut daripada anak-anak praoperasional.
Mereka dapat berpikir lebih luas dan peduli pada berbagai transformasi yang
hanya merupakan persepsi. Piaget menekankan bahwa perkembangan kemampuan
anak-anak untuk mengkonservasi akan lebih baik apabila secara nalar telah cukup
matang dan konservasi hanya sedikit sekali dapat dipengaruhi oleh pengalaman.
Sekalipun demikian terdapat faktor-faktor lain dari kematangan yang dapat
mempengaruhi konservasi. Anak-anak yang belajar konservasi sejak dini akan
mampu mencapai tingkat yang lebih dalam hal IQ, kemampuan verbal dan tidak
didominasi oleh ibunya.
2.4
Tahap-Tahap Perkembangan Intelektual
1.
Tahap Sensori-Motoris (0-2 Tahun)
Kecenderungan-kecenderungan
sensori-motoris yang sangat jelas. Segala perbuatan merupakan perwujudan dari
proses pematangan tahap tersebut. Menurut Peaget (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2011:28), “pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk
orang tuanya terutama dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya”. Dalam
melakukan interaksi dengan lingkungan termasuk dengan orang tuanya, anak
mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan-sentuhan,
melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-lahan belajar mengoordinasi
tindakan-tindakannya.
2.
Tahap Praoprasional (2-7 Tahun)
Tahap ini disebut dengan tahap
intuisi, sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang
ditandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak
didukung oleh pemikiran tetapi oleh unsur perasaan, kecenderungan alamiah,
sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang bermakna, dan lingkungan sekitar.
Pada tahap ini, menurut Piaget
(Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2011:28), “anak sangat bersifat egosentris
sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungannya,
termasuk dengan orang tuanya”. Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak
cenderung sulit untuk dapat memahami pandangan orang lain dan lebih banyak
mengutamakan pandangannya sendiri. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ia
masih sulit membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan karena masih
beranggapan bahwa, hanya ada satu kebenaran atau peristiwa dalam setiap
situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu
ditentukan pengamatan indrawi saja, tetapi pada intuisi. Anak mampu menyimpan
kata-kata serta menggunakannya, terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan
mereka. Pada masa ini anak siap untuk belajar bahasa, membaca dan menyanyi.
Ketika kita menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara pada anak, maka akan
berakibat baik pada perkembangan bahasanya. Cara belajar yang memegang peran
pada tahap ini ialah intuisi. Intuisi membebaskan mereka dari berbicara
semaunya tanpa menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering
kita lihat anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada di sekitarnya,
misalnya: pohon , kucing, boneka, dan lain-lain. Peristiwa semacam ini baik
untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Tahap ini disebut sebagai
collective monologue, pembicara yang
egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain.
3.
Tahap Operasional Konkret (7-11 Tahun)
Pada tahap ini, anak mulai
menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin
tahunya. Menurut Piaget (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2011:29) bahwa, “interaksinya
dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya sudah semakin berkembang dengan
baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang”. Anak sudah dapat mengamati,
menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain dalam
cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.
Pada tahap ini, anak juga sudah
mulai memahami hubungan fungisional karena mereka sudah menguji coba suatu
permasalahan. Cara berpikir anak yang masih bersifat konkret menyebabkan mereka
belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang sesuatu
yang konkret. Di sini sering terjadi kesulitan antara orang tua dan guru.
Contohnya, orang tua ingin menolong anak mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi
memakai cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh guru sehingga anak tidak setuju. Sementara
seringkali anak lebih percaya terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya
ketimbang orang tuanya. Akibatnya, kedua cara tersebut baik yang diberikan oleh
guru maupun orang tuanya sama-sama tidak dimengerti oleh anak.
4.
Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, anak telah mampu
mewujudkan suatu keseluruhan pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir
logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat
mendukung penyelesaian tugas-tugasnya. Piaget (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori,
2011:29) menyatakan bahwa, “interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas,
menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi
dengan orang dewasa”. Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan masalah
dalam interaksinya dengan orang tua. Namun, sebenarnya secara diam-diam mereka
juga masih mengharapkan perlindungan dari orang tua karena belum sepenuhnya
mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, paada tahap ini ada semacam
tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin dilindungi.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai
mampu mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika
dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka
mengerti. Melibatkan mereka pada sutu kegiatan, akan lebih memberikan akibat
yang positif bagi perkembangan kognitifnya. Misalnya, lomba karya ilmiah,
menulis puisi, menulis cerpen, dan sebagainya.
2.5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intelektual
1.
Faktor Hereditas atau Pembawa
Faktor pembawa, di mana faktor ini
ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan
seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan.
Jadi, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan
pintar sekali. Meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
2.
Faktor Lingkungan
a. Keluarga
Disini keluarga yaitu orang tua
ialah orang pertama yang memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai
bidang kehidupan sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan
alat bagi anak untuk berpikir. Contohnya, memberi kesempatan kepada anak untuk
merealisasikan ide-idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan dorongan
keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat
keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas anak.
Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut perhatian orang tua.
b. Sekolah
Merupakan lembaga formal yang
diberi tanggung jawab untuk meningkatkan perkembangan anak termasuk perkembangan
berpikirnya. Disini, peran guru sangat diperlukan dengan beberapa cara yaitu:
1.
Menciptakan hubungan atau interaksi dengan peserta didik. Dengan adanya
interaksi tersebut, secara psikologis peserta didik akan merasa aman dan
nyaman, sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat
dikonsultasikan dengan guru mereka.
2.
Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berdialog dengan orang-orang yang
ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sangat menunjang
perkembangan intelektual anak. Membawa para peserta didik ke objek-objek
tertentu, seperti objek budaya dan ilmu pengetahuan, sangat menunjang
perkembangan intelektual peserta didik.
3.
Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan olahraga
maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi perkembangan berpikir
peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggu secara fisik, perkembangan
akan terganggu.
4.
Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak maupun
dengan menyediakan situasi yang memungkinkan ide-idenya. Hal ini sangat besar
pengaruhnya bagi perkembangan intelektual peserta didik.
3.
Faktor Minat dan Pembawaan yang khas
Di mana minat mengarahkan perbuatan
kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. “Dalam diri
manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi
dengan dunia luar, sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan
dorongan untuk lebih giat dan lebih baik” (H. Djaali, 2011:74).
4.
Faktor pembentukan
Di mana pembentukan adalah segala
keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. Di
sini dapat dibedakan antara pembentukan yang tidak disengaja, misalnya pengaruh
alam di sekitarnya.
5.
Faktor Kematangan
Di mana setiap organ dalam tubuh manusia
mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Baik fisik maupun psikis, dapat
dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh dan berkembang hingga mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Jadi, tidak mengherankan bila
anak-anak belum mampu mengerjakan soal-soal pelajaran, karena soal-soal itu
masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuh dan fungsi jiwanya masih belum
matang dan kematangan berhubungan dengan umur.
6.
Faktor Kebebasan
Di sini manusia dapat memilih
metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
3.1.1 Hubungan intelektual dengan
tingkah laku yaitu terjadi interaksi
atau komunikasi antara individu dengan lingkungannya, sehingga akan terjadi
hubungan timbal balik. Melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
3.1.2 Karakteristik perkembangan
intelektual yaitu berdasarkan tahap-tahap perkembangan intelektual yang
memiliki karakteristik tersendiri seperti sensori motoris, praoperasional,
operasional konkret, operasional formal. Sebagai perwujudan kemampuan intelek
individu sesuai perkembnagannya.
3.1.3 Aspek-aspek perkembangan
intelektual yaitu berpikir kognitif, berpikir operasional, konservasi, dan
mengembangkan konservasi.
3.1.4 Tahap-tahap perkembangan
intelektual yaitu sensori motoris, praoperasional, operasional konkret, dan operasional
formal.
3.1.5 Faktor-faktor perkembangan
intelektual yaitu hereditas atau keturunan, lingkungan (keluarga dan sekolah),
pembentukan pembawaan yang khas, dan kematangan.
3.2
Saran
Kita sebagai guru PAUD, harus dapat
mengetahui segala sesuatunya tentang intelektual. Karena supaya kita dapat
memantau selalu perkembangan intelegensi yang dialami anak-anak didik kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhammad dan Muhammad Asrori. 2011. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Djaali, H. 2011. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Massofa. 2008. From http://massofa.wordpress.com/2008/04/29/perkembangan-intelektual-dan-emosional-anak/.
Akses 1 Maret 2012.